DODOKUGMIM.COM – Di Indonesia, sebagaimana di banyak negara di dunia saat ini, setiap tanggal 1 Mei ditandai sebagai Hari Pekerja/Buruh Sedunia (International Labour Day). Dalam pasal 1 ayat 3 UU no 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan, penyusun Undang-Undang menggunakan kedua istilah yakni Pekerja dan Buruh sekaligus dengan pengertian yang merujuk pada setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau menerima imbalan dalam bentuk lain. Tak dapat dipungkiri bahwa kendati kedua istilah tersebut mengandung pengertian yang sama sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun dalam kenyataan masih sering terjadi upaya pembedaan, baik secara sadar maupun tidak, dalam penggunaan kedua istilah tersebut. Dalam sejumlah literatur terkait ketenagakerjaan, istilah “buruh” sering dipakai dalam konotasi sebagai pekerja kasar yang dianggap lebih menggunakan tenaga fisik (otot) dalam bekerja seperti buruh tani, tukang kayu, kuli bangunan, tukang batu, tenaga kerja bongkar muat pelabuhan. Ternyata pada zaman penjajahan Belanda dan dalam konteks feodal, upaya membedakan kaum pekerja ke dalam 2 kelompok yang disebut pekerja berkerah biru (blue collar) dan pekerja berkerah putih (white collar) mulai terjadi. Kaum buruh yang dipandang lebih mengandalkan tenaga fisik digolongkan sebagai pekerja berkerah biru, sementara para pekerja dibalik meja, pegawai administrasi maupun pekerjaan yang dianggap lebih mengutamakan pikiran (otak) digolongkan sebagai pekerjaan halus dan sering dinamai sebagai pekerja berkerah putih (white collar). Pertanyaan penting yang perlu diajukan ialah apakah pemahaman dikotomis seperti ini patut dipertahankan dan tidak problematis dalam konteks kehidupan bersama saat ini yang sedang menuju masyarakat yang lebih demokratis di Indonesia dan dalam dunia internasional ?
Dalam pandangan penulis, pemahaman dikotomis ini sangatlah bermasalah, karena hal-hal berikut: dikotomisasi pekerja kasar [blue collar] dan pekerja halus [white collar] berpotensi memunculkan praktik eksklusi sosial yang diskriminatif, eksploitatif dan juga melanjutkan warisan berpikir feodal-kolonialistik. Jika segala praktik yang diskriminatif dan eksploitatif itu terjadi dan dibiarkan berlangsung terus menerus, maka dalam hal ini tanggungjawab iman Kristen patut dipertanyakan. Apakah iman Kristen itu dipandang hanya berlaku dan terkungkung dalam ruang lingkup gereja saja? Tidakkah iman Kristen itu patut berdialog, hadir dan bersuara ditengah kehidupan sosial budaya masyarakat termasuk dalam konteks ketenagakerjaan? Dalam konteks inilah, penulis hendak melakukan sebuah refleksi teologis sebagai upaya mendialogkan iman Kristen dengan pergumulan kontekstual dalam bidang ketenagakerjaan.
Dalam Perjanjian Baru (PB), Yesus hadir sebagai tokoh sentral dalam pemberitaan penulis kitab Injil sinoptik. Baik dalam Injil Matius, Markus, Lukas dan Yohanes, ketokohan Yesus digambarkan dalam potret yang beragam, diantaranya sebagai Mesias, Tuhan, Anak Allah, Anak Manusia, Firman Kehidupan, Pokok Anggur, Jalan Kehidupan, Tabib, Guru, dan masih banyak lagi. Gambaran tentang Yesus sebagai pewarta Injil Kerajaan Allah di sepanjang kehidupannya dan selama karya pelayanannya sesungguhnya menjadi pokok penting yang diberitakan oleh para penulis kitab Injil. Dalam perannya sebagai pewarta Injil Kerajaan Allah di tanah Yudea, Yesus dapat dipahami sebagai seorang pekerja yang diutus BapaNya ke dalam dunia. Dalam perspektif penyataan (revelation) diri Allah melalui Yesus Kristus maka dapat dipahami bahwa Allah tidak hanya bertindak sebagai Pemilik dan Pemberi Kerja tetapi Allah sendiri hadir bekerja di tengah-tengah manusia dan dunia ciptaanNya untuk membawa keselamatan, Shalom, dan kepenuhan hidup (fullness of life) bagi seluruh ciptaanNya. Dalam Matius 4:17 dinarasikan tentang pemberitaan Yesus bahwa “Kerajaan Sorga sudah dekat!”, dan berulang-ulang Yesus mewartakan Injil Kerajaan Sorga itu tidak hanya sebagai sebuah gagasan teologis yang menyentuh aspek berpikir, cara pandang serta pusat keberimanan bagi orang disekitarNya, namun Injil Kerajaan Allah itu sungguh-sungguh diwartakan melalui karya yang melibatkan tindakan nyata serta menyentuh aspek tubuh manusia secara fisik seperti dalam aksi menyembuhkan yang sakit, memberi makan bagi yang membutuhkan, melepaskan belenggu kemiskinan, mengusir roh jahat, membangkitkan yang mati bahkan sampai menjalani penderitaan fisik, kematian dan kebangkitan yang kesemuanya mewartakan komitmen dan kesetiaan Yesus pada panggilan pekerjaannya untuk menghadirkan kerajaan sorga itu. Tema “kerajaan sorga” yang berulang-ulang diwartakan Yesus semasa hidupnya menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam konsep kerajaan sorga, yakni nilai-nilai kasih (Matius 12:7), keadilan dan perdamaian itu merupakan pokok penting dan menjadi pusat perhatian Yesus. Dalam menjalankan kerja sebagai pewarta Injil kerajaan sorga itu, Yesus tidak sekedar menggunakan metode pengajaran secara verbal, melalui perumpamaan atau ucapan dan doa “datanglah kerajaanMu!” (Matius 6:10), namun gagasan kerajaan sorga itu dihadirkan secara konkrit melalui tindakan berbelas kasih, berlaku adil dan mendamaikan terhadap sesama manusia. Nilai-nilai yang terkandung dalam gagasan kerajaan sorga menjadi dasar etika karya pelayanan Yesus yang berlaku universal, tidak hanya tertuju kepada kaumnya sendiri.
Berefleksi pada karya pelayanan Yesus sebagai pekerja yang mewartakan Injil kerajaan sorga itu, maka jika kita beriman pada Yesus yang setia dan berkomitmen pada nilai-nilai kerajaan sorga yang Dia beritakan dan hadirkan semasa hidupNya, berarti apa yang diimani itu wajib untuk direalisasikan dalam hidup keseharian orang beriman. Iman yang tidak disertai perbuatan, demikian juga suatu perbuatan yang tidak didasari oleh iman pada karya pelayanan Yesus maka tidak ada kehidupan di sana, sia-sialah iman dan perbuatan tersebut (Yakobus 2:22).
Dalam merayakan hari buruh/pekerja sedunia tahun 2022 ini, upaya mengevaluasi dunia ketenagakerjaan yang sedang berlangsung dalam beragam sektor kehidupan manusia, baik sektor formal dan non formal, sektor kehidupan domestik maupun publik, sektor kehidupan yang profan dan yang sakral, penting dilakukan dalam terang iman Kristen. Sejauh ini bagaimana perlakuan pihak pemberi dan penyedia kerja dalam pelbagai sektor kehidupan itu terhadap kaum pekerja baik di lingkungan gereja dan masyarakat? Adakah nilai-nilai kasih, keadilan dan perdamaian sebagai perwujudan pemerintahan Allah dalam kerajaanNya di muka bumi ini telah dihadirkan dan menjadi pokok pemberitaan orang beriman dan gereja hari ini? (dodokugmim/rogerefrat)