Oleh : Mick Mordekhai Sopacoly
DODOKUGMIM.COM – Bukanlah suatu perkara yang mudah untuk sampai pada Hari Ulang Tahun ke-75th Kemerdekaan Indonesia yang biasa kita rayakan pada setiap tanggal 17 Agustus apalagi merayakannya di masa-masa sulit akibat wabah COVID-19.
Bagi suatu bangsa yang heterogen, bertahan sampai 75 tahun dalam persatuan dan kesatuan sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bukanlah prestasi yang kecil. Harus diakui, masih banyak “PR” sebagai warga negara bahkan semua elemen dan stakeholders untuk sampai pada Kemerdekaan yang holistik. Kemerdekaan yang tidak hanya secara prokalamasitoris, tapi juga kemerdekaan di segala aspek kehidupan baik itu aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Dalam jiwa, dedikasi yang tinggi, dan semangat kemerdekaan yang membara, para pahlawan kita yaitu para pendiri bangsa kita telah mewariskan semangat spiritual dan semangat kebhinekaan yang luar biasa bagi Indonesia dan semuanya itu tertuang dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta Pancasila sebagai teks kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia.
Semangat nasionalisme dan patriotisme yang membara sembari berkeringat darah dengan harus melawan kolonialisme, serta semangat yang mulia dengan mengorbankan nyawa demi dan untuk Indonesia, bagi bumi pertiwi yang tercinta, bagi generasi ke generasi. Semangat kesetaraan (egaliter) dari para pendiri bangsa yang tidak memperjuangkan dominasi agama dan suku tertentu saja, tapi bagi keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa yang satu, Bhineka Tunggal Ika!, dan seperti kata Bung Karno, semua buat semua! Dalam alinea ketiga juga menyatakan, “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa!”.
Tanpa kemerdekaan, keberadaan kebangsaan tidaklah ada. Kemerdekaan itu adalah hak asasi semua bangsa di dunia. Karenanya, menyatakan diri merdeka adalah realisasi dari hak asasi bangsa itu. Bagi bangsa Indonesia, kemerdekaan bukan juga sekedar hak asasi setiap bangsa. Kemerdekaan itu adalah rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Pada 17 Agustus 1945, Tuhan berperkara besar bagi Indonesia. Selama ± 350 tahun kita terkungkung dalam penjajahan. Tapi dengan semangat persatuan dari suku-suku bangsa (identitas primordial), bergandengan tangan dan semangat gotong royong, Indonesia menjadi Indonesia seperti saat ini (identitas nasional).
Ini membuktikan bahwa pekerjaan dan penyelamatan Allah bagi Indonesia tidaklah bisa dibatasi hanya bekerja di lingkungan umat Israel, atau gereja awal di Palestina. Tuhan juga sedang bekerja di tengah-tengah kehidupan bangsa Indonesia. Pekerjaan-Nya dimulai dengan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Kalau Indonesia dipahami sebagai karya penyelamatan Tuhan, maka tidakkah Injil telah berlaku dalam diri bangsa Indonesia? Kemerdekaan Indonesia memungkinkan manusia Indonesia menjadi manusia merdeka yang dapat menentukan masa depannya.
Sebagai umat Kristen, menjaga, memelihara serta memperluas kemerdekaan Indonesia di segala lini kehidupan, berarti juga mencegah terjadinya kemiskinan, memberikan nafas pembebasan, menjunjung tinggi keadilan dan hak asasi manusia, menyampaikan suara kenabian bagi suara-suara yang tidak bisa didengar (be voice for the voiceless), serta membina kerukunan hidup umat beragama dan kepercayaan lokal, adalah bagian dari panggilan untuk memelihara pekerjaan penyelamatan Tuhan di dalam Yesus Kristus, yang merupakan dasar iman yang utama. Sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para pendiri bangsa ini, ketika mereka bekerja keras, bahu membahu tanpa pandang bulu satu terhadap yang lain, telah menghasilkan Indonesia dengan muatan signifikansi kemanusiaan.
Karena itu, memaknai Hari Kemerdekaan Indonesia ke 75th ini, gereja terpanggil untuk turut memberitakan Injil Kerajaan Tuhan dengan cita rasa Indonesia yakni jiwa dan semangat gotong royong berdasarkan Pancasila sebagai pandangan hidup (the way of life). Injil yang tidak hanya eksklusif di lingkungan jemaat dengan ritual-ritual liturgis, tapi juga praksis liturgi kehidupan yakni bagi masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Gereja harus berlandaskan kasih Tuhan atas dunia ini dengan kegiatan-kegiatan gereja pada asas kemerdekaan, kebenaran, keadilan dan kasih. Dalam hal inilah, gereja tidak bisa tinggal diam saja. Gereja harus ikut terlibat dalam mewujudkan kasih-Nya, termasuk di dalam kehidupan bernegara. Dalam pelaksanaan tugas seperti itulah terletak pertanggungjawaban gereja terhadap Tuhannya serta bagi Indonesia di masa depan. Dirgayahu Negeriku! Dirgahayu Indonesia! Merdeka! (dodokugmim/joshuaumboh)
Sumber refleksi dan kontemplasi : John Titaley, Religiositas di Alinea Ketiga: Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. 2013.