Setiap jejak yang kita tapaki tentu saja akan meninggalkan kesan. Baik dan buruk kesannya, semua tergantung pada pola yang kita ciptakan, entah itu melalui tutur kata maupun tindakan. Biasanya untuk melakukan sesuatu kita punya ekspektasi, setidak-tidaknya hal itu memberi arti dan makna, dan dalam setiap tutur dan tindakan pasti akan memberi dampak terhadap penilaian orang lain. Untuk itulah manusia selalu punya kecenderungan untuk berusaha melakukan yang terbaik berdasarkan versi masing-masing. Tidak dapat dipungkiri, ada dua unsur penting yang mempengaruhi kehidupan manusia, yakni pikiran dan perasaan, ketika keduanya dikombinasikan, maka tentu saja akan menimbulkan respon atau rekasi, itulah yang disebut kepekaan dan kemudian melahirkan inisiatif, antusias, dan juga kepedulian.
Inilah yang dikerjakan oleh Paulus dalam ziarah misionarinya di Tesalonika. Kerasulannya memanggil seorang Paulus untuk melakukan sesuatu dalam kaitannya dengan hidup beriman di Tesalonika sebagai kota yang terkemuka. Di tengah gempuran berbagai latar belakang budaya dan aliran kepercayaan, maka Paulus hadir untuk memberikan corak Kekristenan sebagaimana seharusnya. Setelah merintis Kekristenan di Tesalonika, Paulus memahami bahwa ada konsekuensi yang akan diterima olehnya termasuk oleh umat Kristen di Tesalonika. Tantangan secara eksternal muncul dari orang-orang sebangsa mereka yang melakukan praktik-praktik keagamaan yang berbeda, dan kedua secara internal mengenai Parousia, kedatangan Tuhan kembali yang tidak diketahui waktunya. Kendatipun Paulus melanjutkan kembali ziarah misionarinya, namun bukan berarti dia membiarkan begitu saja kehidupan umat Kristen di Tesalonika. Sebagai bentuk tanggung jawab, kepedulian, dan kecintaannya kepada umat Kristen di Tesalonika, maka Paulus mengutus Timotius untuk menjumpai mereka, memastikan kehidupan beriman mereka, sambil memberikan nasihat-nasihat untuk melanjutkan kehidupan yang sesuai sambil berjaga-jaga akan tibanya hari Tuhan.
Kesukacitaan Paulus dinyatakan dengan rasa syukur sebab kabar sukacita menghampirinya bahwa umat Kristen terus mengalami kemajuan. Paulus menggunakan peluang baik ini untuk semakin menguatkan iman mereka bahwa mereka adalah anak-anak terang. Selanjutnya Paulus memberi tahu apa yang perlu mereka lakukan pada masa-masa itu untuk melindungi iman mereka dari kegelapan, digambarkan layaknya seorang parajurit dengan kelengkapan perang untuk melindungi dirnya, yakni berbajuzirahkan iman dan kasih dan berketopong pengharapan. Setelahnya Paulus menghimbau supaya di antara mereka hendaknya saling membangun dan menasehati.
Perenungan ini memberi asupan untuk iman kita sebagai orang percaya di tengah gejolak dan kemelut dunia hari ini. Pada masa penantian ini,kita harus memastikan apakah kita ada di jalur yang tepat atau tidak. Tentu saja terang dan gelap dipisahkan sebagai dua unsur yang berbeda, untuk mengartikan analogi ini dalam hidup manusia mungkin dapat digambarkan demikian:
– Terang: Kita tampil untuk memperlihatkan Who am i, siapa diri kita. Dalam kondisi ini kita selalu mau terlihat baik dalam pandangan orang lain. Sebab bagaimana pun terang itu tidak dapat ditutupi. Tapi hendaklah apa yang baik itu menjadi gaya hidup
– Gelap: Sesuatu yang nampak secara tidak terang-terangan. Bisa saja berkaitan dengan karakter dan kepribadian kita yang tidak enak dalam pandangan dan penilaian orang lain, dan manusia sedapat mungkin tidak menjadikanya sebagai konsumsi publik, apalagi berkaitan dengan aib, kejahatan, maupun praktek hidup lainnya yang tidak pantas.
Maksud dari kedua hal ini adalah tentang cara hidup. Namun tidak hanya berdasarkan penilaian manusia saja yang harus diperhatikan tetapi menurut kehendak Tuhan. Pepatah “Sedia Payung Sebelum Hujan” menjadi pengingat bagi iman kita untuk bagaimana bertindak pada masa-masa penantian ini. Kita harus memiliki kepekaan terhadap kebutuhan rohani dengan bersikap mawas diri, sebab hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam hari, artinya tak satu orang pun tahu waktunya. Seorang petani yang baik tidak hanya sekadar menabur benih, karena untuk mendapatkan tuaian yang baik, ia harus punya kepekaan untuk merawat tanaman itu dengan baik dan bersikap waspada terhadap serangan hama. Maka demikian juga kita memperlakukan iman kita. Katakanlah kita sebagai benih yang bertumbuh dan sedang menanti untuk dituai oleh sang penuai Agung. Sementara menanti dituai makakita perlu melakukan Faith Empowerment (Memberdayakan Iman), artinya kita jadi berkat bagi pertumbuhan iman orang lain melalui sikap hidup yang benar. Itulah yang Paulus nasihatkan supaya jemaat saling membangun satu dengan yang lain,jadi terang bagi sesama, bukan saling melemahkan dan menjatuhkan.
Dewasa ini berbagai fenomena kehidupan semakin muncul kepermukaan, tindakan manusia yang tidak manusiawi, kejahatan di mana-mana, aliran-aliran penyesat, belum lagi berbagai fenomena alam dan bencana, satu demi satu menghampiri kita. Keadaan ini dapat saja melemahkan iman umat Kristen jika kita tidak memperhatikan pembangunan iman. Tingkatkan kualitas iman dengan cara taat dan setia beribadah, santun dalam bertutur, baik dalam bertindak, memelihara perdamaian, menegur yang tidak tertib. Paulus telah menjadi teladan iman yang baik, tidak hanya dalam tutur kata tetapi contoh hidupnya, dia memiliki kepedulian untuk yang lain, maka cara ia mengerjakan imannya dengan cara membangun iman oranglain. Semua ini dia lakukan supaya semua orang siap menantikan kedatangan Tuhan yang pasti itu, karena siapa yang bertahan sampai kesudahannya akan selamat.
Kedatangan-Nya tidak untuk menanyakan apakah saudara sudah siap atau belum maka dari itu “Sedia Iman supaya aman”. Amin