Banyak yang senang ketika dipilih menjadi ‘Pelayan Tuhan’. Demikian pula, ada yang bangga menyebut dirinya ‘Hamba Tuhan’. Pertanyaannya siapakah ‘Pelayan Tuhan’ atau ‘Hamba Tuhan’ itu? Seperti apakah tugas dan tanggung jawabnya? Apakah ada risiko ketika menjadi seorang Pelayan Tuhan atau Hamba Tuhan? Sebagian besar orang memang secara bertanggung jawab melaksanakan tugas ‘menggembalakan domba-domba’ milik kepunyaan Tuhan, sebagai wujud ketaatannya kepada Sang Pemilik pelayanan. Namun tidak sedikit pula, yang tiba-tiba menyerah, lari dari tanggung jawab dan melupakan pelayanan. Alasannya bisa beragam. Misalnya perselisihan antara sesama rekan pelayan atau dengan yang jemaat yang dilayani, tidak tahan atau bosan dengan tugas pelayanan yang dianggap terlalu berat, karena pergumulan dalam keluarga, masalah pengelolaan keuangan gereja dan sebagainya. Intinya mereka tidak sanggup berhadapan dengan tantangan, kesulitan, pergumulan dan risiko pelayanan. Akibatnya meski sudah berjanji kepada Tuhan, mereka gagal untuk setia dan gagal taat.
Tema renungan GMIM di peringatan Minggu Sengsara II adalah “Ketaatan Hamba Tuhan”. Gambaran tentang ciri hamba Tuhan yang taat ini, didasarkan pada Nubuatan Deutero Yesaya pasal 50: 4-11. Sedikit tentang Kitab Yesaya. J. Blommendaal, dalam bukunya “Pengantar Kepada Perjanjian Lama” terbitan BPK Gunung Mulia, membaginya dalam tiga bagian.
Pertama, disebut Proto Yesaya, Pasal 1-39 . Bagian ini berasal Nabi Yesaya yang hidup dan beraktifitas di kerajaan Yehuda sekitar tahun 740 SM-701 SM. Tepatnya dimulai dari akhir pemerintahan raja Uzia, Yotam, Ahas dan Hizkia. Pada masa itu kerajaan Asyur menebar ancaman terhadap Yehuda. Di Pasal 37, diceritakan Tuhan menolong Yehuda dari teror Sanherib raja Asyur. 185.000 prajurit Asyur yang sedang bersiap menyerang Yehuda, tewas terbunuh pada malam hari ketika sedang berkemah (37:33-36). Begitupun Sanherib, saat kembali ke Niniwe, ibukota Asyur, dia dibunuh putranya sendiri (37:38). Cerita proto Yesaya diakhiri dengan kisah Raja Hizkia yang jatuh dalam dosa kesombongan. Dia memperlihatkan kekayaan kerajaannya kepada utusan Raja Babel yang bertamu ke Yerusalem. Yesaya yang marah kemudian menubuatkan kejatuhan Yerusalem dan pembuangan di Babel (39:6,7).
Kedua, Deutero Yesaya Pasal 40-55. Bagian kedua ini, ditujukan kepada orang-orang Yehuda yang telah dibuang ke Babel (605-538). Pembuangan terjadi setelah Raja Babel Nebukadnezar II , menaklukkan Yehuda, di masa Raja Yoyakim, tahun 605 SM. Mereka yang diangkut ke pembuangan pertama itu, diantaranya sejumlah tenaga ahli dan kaum bangsawan seperti Daniel dibuang. Di tahun 598/597, Nebukadnezar kembali menghancurkan Yehuda yang diperintah Yoyakhin. Raja, keluarganya dan sejumlah besar penduduk Yehuda mengalami pembuangan kedua. Konteks, Deutero Yesaya sendiri, menurut para ahli di tulis sekitar tahun 540 SM, atau dua tahun sebelum kekalahan Babel dari Kerajaan Persia. Di tahun-tahun terakhir itu, Deutero Yesaya memberitakan bahwa tidak lama lagi Tuhan akan membebaskan umat-Nya dan membawa mereka kembali ke Yerusalem.
Ketiga, Trito Yesaya, Pasal 56-66. Bagian ini ditujukan kepada orang-orang Yehuda yang telah kembali ke Yerusalem (520-515 SM). Kepulangan mereka terjadi atas Surat Perintah Raja Persia, Koresh Agung (538) kembali ke Yesaya 50:4-11. Teks ini adalah berita atau tepatnya salah satu nyanyian tentang kehadiran “Hamba Tuhan” (Band. 42:1-4; 19:1-6; 50:4-9; dan 52:13-53:12). Pertanyaan sekarang, apakah yang dimaksud dengan Hamba Tuhan? Dan siapakah hamba Tuhan yang dimaksud dalam Deutero Yesaya? Hamba Tuhan (Ibr. Ebed Yahwe) berarti orang yang menjadi milik Allah, berbakti kepada Allah, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan Allah sebagai panggilan hidupnya dan bahkan mengabaikan kepentingan sendiri.
Tentang siapa yang dimaksud Hamba Tuhan, tidak ada jawaban pasti soal ini. Namun ada pendapat tentang itu. Pertama, hamba Tuhan merujuk pada seluruh bangsa Israel seperti yang digambarkan pasal 41-48; Kedua, hamba adalah sisa orang Israel di pembuangan. Terutama yang masih taat pada Tuhan dan Ketiga adalah pribadi yang memberitakan nubuatan ini sendiri atau orang lain yang menyerupai nabi. Kata Hamba Tuhan, memang tidak muncul di teks ini. Namun gambaran tentang ketaatan hamba Tuhan, peranannya serta sikap dia ketika menghadapi tantangan pelayanan terungkap jelas.
Ayat 4, memberikan gambaran tentang kondisi orang-orang Yehuda di pembuangan. Menjadi umat yang terjajah bahkan terbuang dari negeri sendiri, tentunya menimbulkan penderitaan secara fisik maupun psikis. Disebutkan, bahwa mereka mengalami kondisi yang letih dan lesu (Ibrani: ’et-ya‘ep = bosan, jemu dan tidak sadar). Secara teologis, pembuangan di Babel sebenarnya merupakan bentuk hukuman Tuhan atas Yehuda karena dosa sinkrtisme dan tidak lagi mengandalkan Tuhan. Kini setelah menjalani hukuman hampir 70 tahun, berita pembebasan datang. Tuhan mengutus Hamba-Nya. Sang Hamba digambarkan sebagai seorang ‘murid’ yang dekat dengan ‘Gurunya’ yakni Tuhan sendiri. Sebagai murid, dia bersedia dibekali lidah (ay.4) untuk menyampaikan Firman Tuhan dan telinga yang setiap pagi pendengarannya dipertajam oleh Tuhan (ay.5).
Kedekatan dengan Tuhan itu, membuat Hamba Tuhan melaksanakan tanggung jawabnya. Apa saja itu?
1. Sebagai murid yang bersedia diajar dan diatur, dia pun melanjutkan teladan sang “Guru”, yakni dengan taat menyampaikan pesan Tuhan untuk menguatkan, membangkitkan semangat dan meneguhkan iman mereka yang letih, lesu, bosan dan jemu karena hidup di pembuangan selama berpuluh tahun (ay 4).
2. Sebagai murid, dia akan taat meski risiko atas pemberitaan itu bisa saja ditolak. Jika pun di tolak, dikatakannya di ayat 5 “…. aku tidak memberontak, tidak berpaling ke belakang”. Kata memberontak sama artinya dengan tidak keras kepala dan berlaku tidak taat. Sedangkan tidak berpaling ke belakang sama artinya tidak mundur. Risiko di tolak pemberitaannya bisa berakibat penderitaan bagi Hamba Tuhan.
Bentuk penderitaan yang akan diterimanya, ditulis diayat 6,“Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi” . Lalu bagaimana sikap Hamba Tuhan, terhadap berbagai bentuk penderitaan dan pergumulan yang dihadapinya. Dia tidak melawan balik atau dia lari dari pada Tuhan. Sebaliknya, Diayat 7, dia berserah dan meminta pertolongan Tuhan. Bagi Hamba Tuhan, dengan berserah kepada Tuhan, dia yakin; tidak akan mendapatkan noda, hatinya akan makin diteguhkan seteguh gunung batu, tidak akan mendapat malu dan akan dibenarkan Tuhan (ay 7-8). Sebaliknya untuk yang berbantah dengan dia dan yang menyatakan dia bersalah, kepada mereka akan ditanggungkan hukuman ( ay 9-11).
Ciri hamba Tuhan yang taat, dalam penghayatan Minggu Sengsara II ini, digambarkan pula oleh Tuhan Yesus. Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi Pasal 2 : 5-8 berkata “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib”
Menjadi Hamba Tuhan bisa disematkan kepada setiap orang Kristen. Namun ingat, menjadi hamba Tuhan atau Pelayan Tuhan, tidak menjaminkan kita akan menikmati rupa-rupa kebahagiaan dan fasilitas istimewa. Menjadi Hamba Tuhan ada risikonya, yakni pemberitaan dan pelayanan di tolak. Jika hal seperti ini kita alami, maka lihatlah pada “Ketaatan Hamba Tuhan” yang diberitakan Deutero Yesaya dan lihatlah pula pada teladan Tuhan Yesus. Menjadi hamba Tuhan memang ada risikonya, namun bukan berarti kita harus menolak jika dipercayakan kepada kita. Menjadi Hamba Tuhan berarti bersedia membuka telinga kita untuk mendengar pengajaran Firman Tuhan setiap saat. Juga bersedia menjadikan lida kita untuk memberitakan kebenaran. Meski kebenaran yang diberitakan di tolak dan membuat kita dibenci.
Ingatlah, bahwa Hamba Tuhan harus sepenuhnya berserah pada Tuhan dan menaati Dia. Itu motivasi yang harus kita bangun. Atau kita bisa belajar dari lagu NKB No. 210 :1 dan 4 ‘Kuutus Kau” karya Edith Margareth Clarkson.
1. ‘Ku utus ‘kau mengabdi tanpa pamrih, berkarya t’rus dengan hati teguh, meski dihina dan menanggung duka; ‘Ku utus ‘kau mengabdi bagiKu.
4. ‘Ku utus ‘kau, tinggalkan ambisimu, padamkanlah segala nafsumu, namun berkaryalah dengan sesama. ‘Ku utus ‘kau bersatulah teguh. Coda : Kar’na Bapa mengutusku, ‘Ku utus ‘kau