Ada ungkapan berkata: “Janji adalah hutang. Jangan janji kalau enggan berhutang”. Ungkapan ini mengingatkan kita untuk tidak sekedar berjanji, melainkan harus menepati. Jika janji yang kita buat tidak ditepati maka berhutanglah kita kepada mereka yang mendengar janji kita. Realitanya, ada banyak orang menebar janji, namun dengan mudah mengingkarinya. Akibatnya banyak orang yang terluka dan menjadi sakit hati. Padahal, janji dibuat untuk ditepati agar ikatan di antara manusia yang berjanji dapat terpelihara baik. Tetapi, meskipun banyak manusia yang suka ingkar janji, kabar baiknya adalah kita punya Allah yang dapat dipercaya. Asal percaya dengan sungguh, kita bisa mengalami janji-Nya.
Abraham, yang kita sebut “Bapa semua orang percaya”, menerima status ini oleh karena ia bergerak maju dalam hidupnya dengan modal percaya pada janji Tuhan, walaupun tak dapat disangkal, sempat ada keraguan di dalam dirinya.
Sepanjang hidupnya Abram memanifestasikan iman yang kokoh kepada Allah. Mudah untuk menunjukkan kepercayaan ini ketika di dalam suasana menang perang. Ketika dia mengingat janji-janji Allah yang luar biasa kepadanya, dia terhibur karena pernyataan bahwa penggenapan semua janji Allah tersebut adalah di dalam dan melalui keturunannya.
Namun ketika dia bertambah tua dan melihat bahwa akhir hayatnya sudah dekat sedangkan dia tetap belum mempunyai anak, dia tergoda untuk meragukan janji-janji Allah tersebut. Sesuai adat dan budaya yang berlaku pada waktu itu Ia telah mempersiapkan Eliezer, hambanya untuk menjadi ahli warisnya. Namun, Allah tetap setia pada perjanjian-Nya bahwa yang akan menjadi ahli waris adalah keturunan jasmani Abram dan Sarai. Allah, demi mempertegas janji-Nya, menyuruh Abram keluar dari kemahnya dan menyuruh dia menghitung bintang di langit. Dan Tuhan berkata bahwa keturunannya akan sebanyak bintang yang sementara dia lihat di langit. Abram merespon janji Allah itu dengan iman sekalipun mungkin masih banyak pertanyaan dalam hati tentang bagaimana semua itu akan dipenuhi.
Tetapi disinilah titik pentingnya iman untuk meyakini sesuatu sebagai kebenaran, walau hal itu tidak dapat ditampung oleh akal manusia yang terbatas. Jadi, tindakan Abram untuk percaya kepada firman Allah adalah sebuah tindakan yang bertentangan dengan kesangsian dan kebimbangan hatinya. Abram tidak menolak janji itu sebagai janji yang kosong, kesia-siaan belaka, melainkan menerima janji itu dengan baik sebagai kenyataan yang belum tampak atau masih tersembunyi. Iman Abram adalah respon terhadap janji Allah dan menerima janji itu sebagai kebenaran. Iman itu tidak bertumpu pada apa yang dilihat melainkan kepada suatu perbuatan Allah yang belum tampak sekarang, namun pasti akan tergenapi.
Alkitab kemudian mencatat, “Maka Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran” (Kej. 15:6b). Ini merupakan buah iman Abram yang diperhitungkan Allah. Perhatikanlah, yang diperhitungkan Allah bukan korban atau hasil keringat Abram, melainkan “kepercayaan”, dimana ia membuka hatinya untuk menerima janji itu sekalipun bertentangan dengan keadaan yang sedang ia alami. Hal ini menunjukkan kepatuhan batin, kesadaran, dan kerendahan hatinya di hadapan Allah.
Lalu setelah selesai persoalan tentang ahli waris, firman TUHAN kepada Abram kemudian berbicara tentang negeri yang akan menjadi milik pusakanya dan keturunannya. Mengenai ini Abram bereaksi dengan memunculkan pertanyaan: “Ya Tuhan Allah, dari manakah aku tahu, bahwa aku akan memilikinya?”. Maka Allah mengarahkan Abram pada peneguhan perjanjian melalui pemotongan binatang sebagai bukti perjanjian antara Allah dan dirinya.
Allah menyuruh Abram mengambil hewan korban yang akan dipakai dalam ritual perjanjian. Kemudian kepada Abram Tuhan berfirman tentang keadaan tidak mengenakkan yang akan dialami oleh keturunannya, yaitu penderitaan dan kesusahan yang akan dialami oleh anak cucunya selama empat ratus tahun, tetapi Allah akhirnya akan menghukum bangsa yang memperbudak mereka itu.
Dan akhirnya perjanjian itu dikukuhkan dalam seremoni dan kehadiran Allah dalam perjanjian itu dinyatakan melalui tanda “perapian yang berasap dan suluh yang berapi.”
Beberapa pesan penting yang dapat menjadi pelajaran bagi kita melalui perikop ini: Pertama, mengenai dinamika kehidupan orang percaya. Kita tidak dapat memungkiri sebuah kenyataan hidup yang mau tidak mau harus dihadapi, yaitu pengalaman jatuh bangunnya orang percaya dalam menanti janji Tuhan. Setiap orang memiliki potensi untuk mengalaminya. Alkitab memang mengungkapkan bahwa setiap orang percaya diberikan hak istimewa yaitu sebagai ahli waris dari janji-janji Allah. Meskipun demikian, orang percaya juga dapat mengalami fluktuasi iman sebagai akibat dari keadaan yang terjadi disekitarnya. Karena itu, di tengah dinamika itu, sebagai pribadi yang lemah, orang percaya harus bergantung kepada Allah (Rm. 8:26-27; 2Kor. 12:9).
Kedua, hidup dalam iman yang dinamis. Kunci untuk menjadi pemenang dalam menghadapi dan menjalani kehidupan adalah memiliki iman yang dinamis. Artinya, iman yang hidup, bertumbuh, dan berakar kuat. Itu akan menjadi kekuatan bagi orang percaya. Seperti Abram menghidupi imannya kepada Allah dalam kesetiaan, demikian juga kita orang percaya. Setiap umat Tuhan dituntut untuk senantiasa hidup berpadanan dengan Allah sambil tetap beriman.
Kebenaran Allah adalah standar tertinggi hidup orang percaya dan janji-Nya adalah sesuatu yang harus kita percayai. Tetapi ingat, percaya bukanlah barang jadi. Kepercayaan dalam diri seseorang merupakan proses. Setiap orang perlu belajar percaya. Percaya berarti mempercayakan diri kita kepada pribadi yang kita percayai, yaitu Allah. Allah sungguh menghargai orang yang percaya penuh kepada-Nya. Teruslah belajar untuk tetap percaya kepada-Nya, sebab janji-Nya “ya dan amin”. Sekali lagi, percayalah dan pegang janji-Nya.
Ketiga, hidup harus berorientasi pada pengharapan karena salah satu upaya untuk bertahan dan tetap eksis dalam memelihara hubungan yang indah dengan Allah adalah hidup yang senantiasa berorientasi pada pengharapan. Abram sekalipun belum memiliki semua yang dijanjikan tetapi tetap berharap kepada perjanjian Allah (Ibr. 11:17-19). Allah yang kepadaNya Abram menaruh harap adalah Allah yang sama, yang kita sembah sampai hari ini. Dia memegang komitmen atas perjanjian-Nya. Dia berjanji dan pasti akan menepatinya. Memang ada banyak hambatan, tantangan, dan godaan dalam hidup kita yang bisa memudarkan pengharapan kita di dalam Tuhan. Kadang kita mengalami kekuatiran dan kecemasa serta keraguan. Jadikanlah pengharapan sebagai penguat jiwa selama kita mengiring Tuhan.
Keempat, tepatilah janjimu. Relasi dengan Tuhan dan sesama yang kita lakonkan sering dipenuhi dengan janji. Berjanjilah untuk banyak hal positif dan yang membangun serta menguatkan orang lain, tetapi jangan lupa berkomitmen dengan janji itu. Jadilah manusia yang dapat dipercaya; jadilah manusia yang selalu pegang janji. Amin