DODOKUGMIM.COM –Tema khotbah ini mengacu pada keteladan hidup dari sosok Rasul Paulus. Kalau kita mencermati bacaan ini ada 17 pertanyaan yang diutarakan Paulus dalam menanggapi kritikan berkaitan dengan kerasulannya dan secara spesifik hanya ditemukan dalam perikop ini. Paulus bukanlah sosok pelayan yang anti kritik namun ia menanggapi kritikan secara arif dengan pemahaman teologis yang jelas.
Pledoi (Yunani, Apologia = pembelaan) berupa pertanyaan yang disampaikannya merupakan upaya mengedukasi jemaat agar dapat memahami tentang hak dan kewajiban rasul. Pertanyaan-pertanyaan ini sifatnya retoris (tidak membutuhkan jawaban), sebab jawaban di balik semua pertanyaan itu adalah benar.
Sebagai seorang rasul, ia tidak berbeda dengan para rasul Kristus yang lain. Ia telah melihat Tuhan dan mengalami pertobatan di dalam perjalanannya ke Damsyik.
Jemaat Korintus adalah jemaat yang didirikan oleh Rasul Paulus. Hidup mereka di dalam Tuhan adalah buah pekerjaan dan meterai dari kerasulannya. Tidak ada satupun yang dapat meragukan pekerjaan pelayanan Paulus kepada mereka.
Sekalipun demikian Paulus tidak menggunakan haknya untuk menikmati pelayanan kasih jemaat, membawa seorang isteri, dan dbebaskan dari pekerjaan tangan (menafkahi hidupnya).
Ada tiga metafora yang ia gambarkan dalam bentuk pertanyaan mengenai hak kerasulannya :
- Siapakah yang pernah turut dalam peperangan atas biayanya sendiri ?
- Siapakah yang menanami kebun anggur dan tidak memakan buahnya ?
- Siapakan yang menggembalakan kawanan domba dan yang tidak minum susu domba itu ?
Acuan analogis bukan hanya pikiran manusia, melainkan didasarkan pada hukum Taurat : Janganlah engkau memberangus mulut lembu yang sedang mengirik! Hewan yang sedang bekerja haruslah menerima makanan yang cukup umtuk memelihara kekuatan dan kesehatannya. Gambaran ini merujuk pada perlakuan seharusnya kepada seorang pekerja (pelayan). Di mana seorang pembajak harus membajak dalam pengharapan dan pengirik harus mengirik dalam pengharapan untuk memperoleh bagiannya. Sewajarnyalah seorang pekerja mendapat bagian dari pekerjaannya. Tidak ada salahnya jika pelayan yang menabur benih rohani menuai hasil duniawi dari jemaat yang dilayaninya. Bagi Paulus ini bukan hal yang berlebih-lebihan jika dapat menikmati hasil pelayanan kasih dari jemaat. Namun Paulus dan teman-temannya tidak menggunakan hak itu, mereka rela menanggung segala sesuatu, bekerja menafkahi kehdupan sendiri tanpa membebani jemaat. Paulus lebih melihat pada keleluasaan memberitakan Injil. Jangan karena masalah hak melupakan kewajiban. Sosok pelayan yang sejati adalah orang mendahulukan kewajiban, tugas dan pelayanan dari pada haknya. Ia tidak ingin karena masalah hak itu mejadi suatu rintangan bagi pemberitaan Injil Kristus.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa, Tidak tahukah kamu, bahwa mereka yang melayani (Yunani, ergazomai, bekerja, yang mata pencahariannya) dalam tempat kudus mendapat penghidupannya dari tempat kudus itu dan bahwa mereka yang melayani mezbah mendapat bahagian mereka dari mezbah itu?
Demikian pula Tuhan telah menetapkan (Yunani, diatasso= memerintahkan, menetapkan) bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu. Orang yang memberitakan Injil harus hidup dari pekerjaan pelayanananya, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya (Lukas 10:7).
Namun upah dari pekerjaan pelayanan bukanlah tujuan dari pekerjaan itu melainkan dari pekerjaan pelayanan. Hal ini mengkritisi para hamba Tuhan yang melayani demi mendapatkan upah atau semata- mata mencari upah pelayanan. Ini terbalik. Melayani Tuhan tidak demi upah belaka tetapi demi membawa umat menikmati keselamatan dari Tuhan dan hidup untuk kemuliaan Tuhan. Jika kerja pelayanan hanya sekedar mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup maka kita telah mereduksi atau merendahkan esensi berita Injil, yaitu berita sukacita bagi manusia.
Paulus memberikan teladan sekalipun ia layak mendapat upah dari pemberitaan Injil namun ia tidak menggunakan hak-hak itu. Ia lebih suka mati dari pada …! Paulus menunjukkan intergritas dan konsistensi pelayanan. Ia tidak mengabaikan upah seorang pelayan sebab hal itu sangat alkitabiah, sesuai dengan ketetapan Tuhan. Ia sungguh berbeda dari pelayan lainnya. Baginya memberitakan Injil adalah suatu keharusan, ia menghukum dirinya sendiri, celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.
Menurutnya panggilan untuk memberitakan Injil tidak didasarkan pada kehendaknya sendiri, melainkan pada tugas penyelenggaran yang ditanggungkan kepadanya. Dengan demikian upah menurutnya bahwa ia memberitakan Injil tanpa upah dan bahwa ia tidak mempergunakan hak sebagai pemberita Inil.
Keteladan Paulus ini seharusnya menjadi contoh bagi seluruh pelayan Tuhan dalam memberitakan Injil. Pemberitaan Injil harus dilihat sebagai tugas yang dimandatkan Kristus bagi kita, sehingga dalam keadaan apapun kita siap untuk memberitakan Injil. Hal ini merupakan suatu keharusan bagi kita, utamakan pelayanan dan bukan fasilitas pelayanan. Dengan demikian kita menjadi pemberita Injil tidak hanya dengan kata-kata saja melainkan hidup kita harus memberikan kesaksian tentang Injil yang kita beritakan.
Soal kesejahteraan hidup bukanlah tujuan pemberitaan injil tetapi seorang pekabar Injil tahu bahwa hidupya dijamin oleh Tuhan dan bukan dari upah yang ia terima. Marilah kita lebih utamakan tugas pelayanan supaya jemaat makin bertumbuh di dalam Tuhan. Amin