Saudara-saudara yang dikasihi dan diberkati Tuhan !
Negara Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Sebagai negara hukum, prinsip-prinsip tersebut harus ditegakkan dalam praktiknya demi keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hukum adalah suatu sistem peraturan yang di dalamnya terdapat norma-norma dan sanksi-sanksi yang bertujuan untuk mengendalikan perilaku manusia, menjaga ketertiban dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan. Yang lain mengatakan hukum adalah suatu peraturan atau ketentuan yang dibuat, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, di mana isinya mengatur kehidupan bermasyarakat dan terdapat sanksi/ hukuman bagi yang melanggarnya. Keberadaan hukum bertujuan untuk melindungi setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan serta untuk menegakkan keadilan. Dengan adanya hukum di suatu negara, maka setiap orang di negara tersebut berhak mendapatkan keadilan dan pembelaan di depan hukum yang berlaku.
Walaupun ada orang yang beranggapan bahwa hukum ada untuk dilanggar, karena mereka merasa hukum sangat membebani dalam menjalani aktifitas dan tanggungjawabnya. Padahal hukum dan peraturan dalam bentuk apa pun adalah alat untuk mengatur kehidupan manusia agar lebih beradab dan teratur. Hukum dibuat agar manusia dapat memanusiakan sesamanya, bukan menindas atau memperbudak sesamanya. Oleh karena itu, jangan menjadi budak hukum yang dengan kaku dan legalistis menghakimi orang lain. Tapi jangan juga memakai hukum untuk menindas orang yang berbeda dari kita. Ingat, hukum dibuat untuk memerdekakan manusia, bukan untuk memperbudak manusia.
Saudara-saudara yang dikasihi dan diberkati Tuhan !
Yakobus menyapa para pembacanya (12 suku diperantauan, ay.1) dan menasehati mereka, tentang beberapa pokok, termasuk menanggung pencobaan, mencari kebijaksanaan dan hidup selaras dengan iman yang diakui. Pendengar firman Allah hendaknya juga menjadi pelaku firman. Yakobus 1:19-27, berisikan nasihat bagi orang percaya bagaimana memahami dan hidup dalam Firman, yaitu: mendengar firman (ay.19-20; menerima firman (ay.21); melakukan firman (ay.22-25); dan mempraktekan Ibadah sesuai firman dalam kehidupan (ay.26-27). Khusus Yakobus 1:25-27, penulis menyamakan firman dengan hukum. Sebab hukum berperan aktif dan berotoritas, sebagai standar otoritatif dan aturan perilaku manusia. Artinya firman harus menguasai kehidupan orang percaya. Di mana orang percaya bukan hanya sekadar tahu tentang firman tetapi harus menjadikan-Nya sebagai prinsip hidup, norma mutlak yang sepenuhnya ditaati sehingga hukum memerdekakan bagi mereka yang mematuhinya. Maka Yakobus tegaskan orang percaya harus meneliti hukum yang sempurna dan bertekun (terus mempelajarinya dan melakukan) dalam hukum. Meneliti (Yun. parakypto berarti tunduk untuk melihat). Artinya melihat dengan terus menerus, secara teratur, tak henti-henti. Kerja meneliti bertujuan untuk membuktikan benar tidak firman Tuhan itu layak untuk dilakukan. Meneliti sebagai tindakan memeriksa (menyelidiki dan menganalisa) dengan cermat. Dilakukan dengan kesungguhan di dalamnya, tidak main-main. Jadi kita harus meneliti, memeriksa, menyelidiki bukan karena ada kesalahan di dalamnya, tapi agar kita memahami makna firman Tuhan dengan sungguh-sungguh. Hukum yang sempurna yaitu, hukum Injil sebagai aturan iman dan praktik, wajib bagi semua orang yang mengetahuinya, membebaskan atau menghukum manusia, (karena dengan hukum itu mereka akan dihakimi pada hari akhir,) dan menentukan keadaan kita selama-lamanya. Kesempurnaan hukum terletak pada yang menciptakannya, yakni Allah sendiri. Hukum-Nya bukanlah membuat orang percaya tertekan atau menjadi beban dalam menjalani hidup, karena mengikatnya namun memerdekakannya. Hukum yang sempurna lebih dari sekedar hukum, dan melampaui fungsi sederhana dari perintah. Ia tidak hanya memberi tahu apa yang harus dilakukan, namun juga memberi kita kekuatan untuk melakukannya. Hukum yang memerdekakan yaitu hukum yang dipelihara dan ditaati, seseorang akan menemukan kebebasannya yang sejati. Hukum Allah memang memerdekakan karena diberikan kepada orang-orang yang telah dibebaskan dan menjadi umat milik-Nya. Keberlangsungan untuk tetap hidup dalam kemerdekaan hanya mungkin terjadi jikalau mereka tetap hidup dalam konsep dan aturan Allah, di luar itu yang ada hanyalah perbudakan. Mereka yang meneliti dan bertekun dalam hukum (firman), bukan hanya mendengar saja dan melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, dan ia akan berbahagia (diberkati, beruntung) oleh perbuatannya, (ay.25).
Saudara-saudara yang dikasihi dan diberkati Tuhan !
Yakobus mengkritik mereka yang melakukan ibadah namun tidak mengekang lidahnya, mereka menipu dirinya sendiri (bdk.ay.19,22) dan ibadah tersebut sia-sia, tidak berguna. Dengan kata lain, ketaatan (kesalehan) bukan dibuktikan melalui perkataan tetapi dengan tindakan. Sebab ketidakmampuan menjaga lidah banyak melahirkan pelanggaran dan kesalahan (bdk.Ams.10:19). Kata-kata bisa jadi berkat, tetapi bisa juga mencelakakan. Perkataan yang tumpah ruah tidak akan berbuahkan kebenaran, (ay.26). Bagi Yakobus, ibadah yang murni (sejati, tidak ada kepalsuan, tidak tercampur, tulus) dan tak bercacat (suci, bersih) di hadapan Allah adalah ibadah yang diwujudkan dengan tindakan dan aksi nyata di dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu mengunjungi (menghibur, mendoakan, menolong) yatim piatu dan para janda dalam kesusahan mereka. Kelompok tersebut harus diperhatikan dan dilayani sebagai wujud iman, melakukan hukum (Firman) untuk menjadi kesaksian bagi dunia. Orang percaya harus menunjukkan kasih sebagai wujud dari ibadah. Disamping itu, ia harus menjaga diri sendiri agar tidak tercemar oleh dunia. Dunia menunjuk pada masyarakat dengan segala konsep nilai dan kekuatan yang tidak bersahabat dengan iman kristiani. Sebab godaan dunia mudah sekali mencemari, maka firman menjadi benteng orang percaya. Tindakan kasih terhadap sesama harus disertai oleh kasih kepada Allah yang terungkap dalam pemisahan diri dari cara dunia yang penuh dosa. Kepedulian dan kasih terhadap sesama harus disertai oleh kekudusan di hadapan Allah jikalau tidak demikian itu bukan kasih, (ay.27).
Saudara-saudara yang dikasihi dan diberkati Tuhan !
Saat ini, kita sementara bersyukur merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 tahun, sebagai gereja yang terus meneliti dan tekun melaksanakan hukum Allah akan makin mengenal dan merasakan kasih-Nya yang memerdekakan. Itulah yang akan membuatnya terus merdeka. Dan tentu saja itu sungguh membahagiakan. Jika kita merasa kurang memahami dan mengerti akan kebenaran Firman Tuhan, maka mari membaca, mengupas, merenungkan, dan mendiskusikannya dengan orang yang tepat agar kita semakin bertumbuh di dalam iman yang benar. Disamping itu, dalam kehidupan bersama yang menikmati kemerdekaan, gereja terus menerus melakukan tindakan kasih terhadap sesama yang membutuhkan pertolongan tanpa melihat latarbelakang, status dan keyakinan. Itulah wujud dari ibadahnya, imannya dalam ketaatan terhadap hukum (firman). Itulah peran gereja ketika menjadi pelaku Firman Tuhan dalam mengisi kemerdekaan.
Saudara-saudara yang dikasihi dan diberkati Tuhan! Merayakan HUT Kemerdekaan RI ke-79 tahun saat ini, orang percaya mempunyai tugas dan peran yang harus dilakukan dalam kehidupan terhadap hukum yaitu: menjauhi perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Sebagai warga negara yang baik dan telah diselamatkan oleh Yesus Kristus, kita harus taat pada hukum, hidup bersama sesuai aturan sehingga kita merdeka dalam menjalani hidup. Gereja harus menjadi pelopor utama dalam mempraktekkan hukum negara sebagaimana dia melakukan firman dalam kehidupan sehari-hari. Karena hukum itu juga bersumber dari Allah, dan Dialah yang telah mengaruniakan pengertian kepada pemerintah dan DPR untuk membuat hukum dan kepada kita agar memahami hukum dan melakukannya. Di samping itu, kita harus berada di garda terdepan dalam mendukung kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, namun kita juga berhak untuk menyuarakan suara kenabian jika keputusan atau kebijakan pemerintah tidak sesuai dan menyimpang dengan hukum. Realitas yang ada, marak terjadi di negara kita saat ini yakni korupsi dan tindakan-tindakan yang merusak tatanan hukum demi kepentingan diri dan kelompok. Radikalisme, teroris dan intoleransi serta upaya-upaya disintegrasi. Maka itu, gereja harus kritis dan solutif. Kita harus berani mengkritisi demi kemajuan dan memberi pertimbangan sebagai jalan keluar. Tidak diam dan tidak ikut-ikutan dengan kelompok lain serta tidak mudah terpengaruh dengan godaan dunia yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum dan firman Tuhan. Untuk itu, marilah kita saling mengingatkan dan menguatkan satu sama lain untuk taat pada hukum yang memerdekakan. Amin.