Ada ungkapan mengatakan hidup adalah pertarungan yang harus dimenangkan. Hidup kekristenan dapat digambarkan sebagai suatu pertarungan yang harus kita menangkan. Banyak pertarungan iman yang sudah dan sementara kita alami di dunia ini. Kita terus di uji dengan kebutuhan dan keinginan, di uji dengan keberhasilan dan kegagalan, penderitaan dan sukacita, kekurangan dan kelimpahan, kesedihan dan kebahagiaan juga ketaatan dan ketidaktaatan. Biasanya kalau kita bahagia, sukses, berkelimpahan, kita akan berkata: Tuhan menyediakan, tetapi jika mengalami kedaan yang sebaliknya, apakah kita dapat mengatakan bahwa Dia adalah Jehova Jireh, Allah Menyediakan? Inilah tantangan bagi kita di dunia yang semakin canggih di mana semua dapat dengan mudah di akses, tetapi apakah dapat memenuhi semua yang kita butuhkan, apakah dapat menjawab setiap pergumulan kita, mampukah kita melewati ujian demi ujian dalam hidup kita? Ternyata, kecanggihan dunia tidak dapat memenuhi kebutuhan dan menjawab persoalan kita, sebaliknya dapat membawa kita pada hal-hal yang tidak berkenan kepada Tuhan.
Lalu bagaimana seharusnya sikap kita sebagai orang percaya agar tetap mengakui bahwa Tuhan menyediakan? Mari belajar dari Abraham. Abram adalah anak Terah, Ia tinggal bersama keluarganya di Ur-Kasdim, Terah mengajak seluruh keluarganya pergi ke Kanaan, tetapi ketika di Haran, Terah mati (Kejadian 11). Kemudian Abram mendapatkan perintah Tuhan untuk pergi ke suatu negeri yang akan ditunjukkan Tuhan dan berpisah dari Nahor saudaranya. Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu.”(Kejadian 12:1). Ketika Abram berusia 99 tahun, Tuhan mengulangi perjanjian-Nya dan mengubah nama Abram menjadi Abraham yang artinya “bapa banyak bangsa.” Juga istrinya Sarai diganti oleh Tuhan menjadi Sara yang berarti “putri/ ibu bangsa-bangsa”.
Kisah Abraham untuk mempersembahkan anaknya Ishak sebagai korban persembahan menggambarkan betapa besarnya iman percaya Abraham sehingga dia disebut sebagai bapa orang beriman. Abraham sendiri juga merupakan manusia biasa, tidak langsung percaya begitu saja. Abraham sempat mengambil Hagar sebagai istrinya supaya beroleh keturunan. Tetapi Tuhan mempunyai rancangan indah bagi Abraham, dari rahim Sara lahirlah Ishak artinya ‘tertawa’. Nama ini diberikan sebagai akibat Abraham tertunduk dan tertawa dalam hatinya karena ia tidak percaya pada firman Tuhan bahwa ‘akan diberikan anak ketika ia berumur 100 tahun’ (Kej 17:17-19). Ishak menjadi anak yang sangat disayangi oleh Abraham dan Sara. Sedih hati Abraham ketika Tuhan memintanya untuk mempersembahkan Ishak, anak satu-satunya, sebagai korban. Perasaan yang campur aduk seperti takut, gelisah, kuatir, marah, kecewa dsbnya, memenuhi hati Abraham. Tetapi Abraham tidak menunjukkan hal itu. Karakter yang baik telah terbentuk dalam dirinya yang dibuktikan melalui sikap dan tindakannya.
Kehidupan yang kita jalani merupakan proses yang Tuhan ijinkan terjadi agar janji-janji-Nya digenapi dalam hidup kita. Proses-proses yang kita alami merupakan bagian dari pembentukan karakter yang sedang Tuhan kerjakan, sebagaimana yang Tuhan lakukan kepada Abraham. Ada hal-hal yang dapat kita pelajari agar hidup ini tetap terarah pada Tuhan belajar dari Abraham:
- Memiliki ketaatan
Perjalananan iman Abraham dimulai ketika ia bersiap menuju Moria. “Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.” Kejadian 22:3. Abraham tidak membantah bahkan tidak bertanya satu katapun kepada Tuhan . Sebagai ayah pasti perasaannya bergejolak saat itu. Tetapi dia tidak menunjukkan ekspresi itu. Sebaliknya dengan taat dia melakukan perintah Tuhan itu. Ketaatan itu t mahal harganya. Segala kenikmatan, kesenangan, hobi, pekerjaan dan apapun yang kita anggap berharga, bukan merupakan hal utama dalam hidup kita. Tuhan tidak melarang kita untuk menikmati semua itu. Tetapi Tuhan ingin agar kita rela mengorbankan apa yang kita anggap berharga dan mengarahkan pandangan kita kepada Tuhan. Bisa berupa harta, pekerjaan/bisnis, keluarga kita, pasangan/pacar atau anak kita seperti halnya Abraham.
- Memiliki iman yang kuat.
“Kata Abraham kepada kedua bujangnya itu: “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana; kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.” Kejadian 22:5. Abraham tidak mengatakan, “kami akan sembahyang, sesudah itu saya kembali kepadamu”. Abraham tahu bahwa anaknya akan dijadikan korban, dan dia tidak akan pulang kembali bersama dengan anaknya. Tetapi di sini kita lihat bahwa Abraham beriman dan percaya kepada Tuhan, kalau Tuhan telah berfirman, maka Dia sanggup untuk menggenapinya. Iman itu aktif, tidak pasif. Ketika kita beriman, tidak berarti kita diam dan hanya menunggu sampai segala sesuatu terjadi. Dalam beriman, kita harus berusaha melakukan sebaik mungkin bagian kita. Kita harus berani melangkah. Tidak peduli seberapa berat masalah yang kita hadapi, Tuhan tetap pegang kendali hidup dan harapan kita.
- Percaya dengan Teguh.
“Sahut Abraham: “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagi-Nya, anakku.” Demikianlah keduanya berjalan bersama-sama.” Kejadian 22:8. Ishak menanyakan dimanakah korban yang akan mereka persembahkan. Dapat kita bayangkan betapa sedihnya perasaan Abraham saat itu. Ketika kita dalam kondisi terjepit dan melihat tidak ada jalan keluar, banyak orang di sekitar kita yang bertanya dimanakah Allah kita. Mereka akan mengejek kita kerena tidak ada pertolongan Tuhan. Hal ini dapat membuat iman kita menjadi goyah. Banyak orang yang tidak tahan pada titik ini sehingga menjadi kecewa terhadap Tuhan, kecewa terhadap teman, keluarga, isteri dan anak, yang bukan penyebab masalah-pun dapat menjadi sasaran amarah kita. Karena itu, mari belajar dari Abraham yang tetap teguh percaya kepada Tuhan dan tidak goyah imannya. Abraham tetap bersikap tenang dan tidak marah atas kondisi yang dia alami. Abrahampun tidak kecewa kepada Tuhan, ketika akan kehilangan hal yang paling berharga. Tetaplah teguh dalam iman percaya kita. Karena Tuhan menyediakan hadiah bagi kita yang setia sampai akhir. Tuhan menginginkan agar kita dengan rela melepaskan apa yang kita anggap paling berharga dalam hidup kita. Mungkin kita berpikir apa yang akan terjadi kepada diri kita, terhadap pekerjaan kita, bisnis kita, keluarga kiata, isteri dan anak-anak kita? Tuhan tetap pegang kendali atas seluruh kehidupan kita. Jangan takut dan jangan kuatir, karena Tuhan sedang memproses kehidupan kita agar kita dapat memiliki karakter seperti Kristus.
Relakan hati kita untuk dapat dibentuk oleh Tuhan. Beranilah untuk mengorbankan apa yang Tuhan minta dari hidup kita. Lihatlah, betapa diberkatinya Abraham setelah dia rela dan berani mempersembahkan hartanya yang paling berharga. “Kata-Nya: “Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri–demikianlah firman TUHAN–:Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku, maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku.” Kejadian 22:16-18. Luar biasa bukan? Sungguh kita akan tetap berkata dengan iman bahwa Tuhan menyediakan, walau dalam kondisi yang tidak nyaman . Soli Deo Gloria. Amin.